JAKARTA, KOMPAS.com – Ketika terjadi kecelakaan fatal yang melibatkan anak bungsu pasangan musisi Ahmad Dhani dan Maia Estianty, berinisial AQJ alias Dul (13), masyarakat seolah tersentak. Padahal ternyata kasus kecelakaan yang melibatkan anak di bawah umur sebagai pelaku atau penyebab kecelakaan lalu lintas, bukan baru kali ini terjadi. Apakah cukup dengan menghukum pelaku?
Kecelakaan fatal dengan pelaku di bawah umur yang juga pernah membetot perhatian media massa, melibatkan seorang pelajar SMA Negeri 28 Jakarta pada 13 Agustus 2011. Saat itu, pengemudi berinisial MHW (16) mengalami kecelakaan di Jalan Warung Buncit Raya, Jakarta Selatan. Dalam kecelakaan itu, dua orang tewas dan dua yang lain terluka.
MHW mengemudikan Toyota Yaris bernomor polisi B 1271 CB dalam perjalanan pulang dari sahur on the road di beberapa tempat menuju Pasar Minggu. Di dalam mobil itu juga ada empat teman MHW, berinisial NS (16), ADO (16), WMD (16), dan RA (16).
Di perempatan lampu merah tak jauh dari kantor Harian Republika di ruas jalan itu, mobil MHW kehilangan kendali, lalu menabrak separator busway dan pohon di median jalan. Akhirnya, mobil terpental ke arah timur dan terbalik di permukaan aspal.
Dalam berkas perkara kepolisian, disebutkan bahwa NA dan ADO tewas setelah sempat dibawa ke Rumah Sakit Jakarta Medical Center, di ruas jalan yang sama. Dua rekan lain MHW, VMD dan RA, mengalami luka dan dirawat di rumah sakit itu. Dua hari berselang, polisi menetapkan MHW sebagai tersangka kasus tersebut.
Kasus Dul dan MHW sama-sama kecelakaan yang melibatkan pengemudi di bawah umur, jelas belum memiliki surat izin mengemudi. Dua-duanya menyebabkan kecelakaan yang memakan korban jiwa. Bedanya, kasus MHW adalah kecelakaan tunggal sementara kecelkaan Dul melibatkan lebih dari satu kendaraan.
Dalam kasus Dul, kecelakaan yang terjadi di Tol Jagorawi Km 8+200, Cibubur, Jakarta Timur, Minggu (8/9/2013) dini hari, tiga mobil terlibat. Dul mengemudikan Mitsubishi Lancer B 80 SAL, kehilangan kendali menabrak pembatas tol kemudian menabrak dua mobil di jalur yang berlawanan arah, Toyota Avanza B 1882 UZJ dan Daihatsu Gran Max B 1349 TFM.
Akibat kecelakaan itu, ajal menjemput enam korban di lokasi kejadian. Satu korban lain meninggal dunia setelah sempat menjalani perawat di rumah sakit. Delapan orang korban lainnya harus dirawat karena terluka akibat tabrakan. Sehari kemudian, polisi menetapkan Dul sebagai tersangka.
Tinjauan Hukum
Mengemudikan mobil, seharusnya hanya dilakukan oleh mereka yang telah lulus ujian untuk mendapatakan setidaknya SIM A. Dari usia, MHW maupun Dul jelas belum memenuhi persyaratan, bahkan untuk mengikuti ujian SIM.
Pasal 81 ayat 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menegaskan seseorang bisa mendapatkan SIM bila memenuhi syarat usia, administratif, kesehatan, dan lulus ujian. Ayat 2 pasal tersebut menyebutkan secara eksplisit bahwa syarat minimal untuk dapat memiliki SIM adalah berusia 17 tahun.
Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Agung Ardiyanto pun memastikan dalam kasus MHW hanya ada surat tanda nomor kendaraan (STNK) yang disita. Tak ada SIM A di sana.
Untuk kedua kasus, polisi menerapkan Pasal 310 ayat 4 UU 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Ancaman hukuman yang dikenakan adalah maksimal 6 tahun penjara.
Dalam kasus MHW, penahanan tak dilakukan lama setelah dia ditetapkan menjadi tersangka. Atas permintaan keluarga dia mendapatkan penangguhan penahanan. Namun dalam berita acara polisi (BAP) tak pernah tercantum keterangan bahwa MHW ditahan, demikian ju tak pernah ada Surat Pemberitahuan Penahanan yang diterima kejaksaan.
“Dari awal tidak dilakukan penahanan. Yang jelas ketika diserahkan dari penyidik polisi ke kejaksaan, kondisinya tidak ditahan,” ujar Ardiyanto. Menurut dia, keringanan didapat MHW karena masih di bawah umur, berstatus pelajar dan masih sekolah, serta ada permintaan keluarga.
Selain itu, lanjut Ardiyanto, ada rekomendasi dari Balai Pemasyarakatan Kelas I Jakarta Selatan. Rekomendasi dari lembaga di bawah payung Kementerian Hukum dan HAM ini menjadi salah satu dasar kejaksaan tak menahan MHW. “Kami memang memperhatikan rekomendasi Bapas. Itu memang tidak mengikat, tapi harus diperhatikan penegak hukum, penyidik, kejaksaan ataupun hakim,” katanya.
Sedangkan dalam kasus Dul, polisi belum melakukan pemberitaan. Merujuk pemberitaan di televisi, Rabu (25/9/2013) malam, dalam pekan ini polisi baru akan memeriksa Dul di rumah meskipun menurut ayahnya, Ahmad Dhani, Dul sudah bersedia menjalani pemeriksaan di kantor polisi.
Sebelumnya, polisi sudah memastikan akan proses peradilan kasus Dul akan mengacu pula pada UU Perlindungan Anak, selain penggunaan Pasal 310 ayat 3 UU Nomor 22 Tahun 2009 sebagaimana dikenakan pada MHW.
Peradilan anak
Dalam penelusuran Kompas.com, kasus MHW telah maju ke persidangan perdana dalam peradilan anak pada 8 Maret 2012. Hampir satu bulan kemudian, vonis pun dijatuhkan kepada MHW, yakni pada 12 April 2012.
Majelis Hakim Penggadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengadili perkara pidana anak itu menjatuhkan vonis 3 bulan pidana penjara dan 6 bulan masa percobaan kepada MHW. Hal ini tercatat dalam petikan putusan nomor 256/Pid.Anak/2012/PN.Jkt.Sel.
Penjatuhan vonis masa percobaan berarti MHW tak harus menjalani hukuman penjara asalkan selama masa percobaan dia tak melakukan perbuatan pidana atau pelanggaran hukum apa pun. Selama masa percobaan itu pula, dia diharuskan melakukan wajib lapor ke kejaksaan secara berkala.
Menurut Ardiyanto, vonis majelis hakim lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum, yang menuntut 5 bulan pidana dan 10 bulan masa percobaan kepada MHW. Banyak hal dinyatakan sebagai pertimbangan meringkankan. “Selain dia masih anak-anak, dia juga sudah berdamai dengan (keluarga) korban meninggal maupun luka,” kata Ardiyanto.
Dalam kasus Dul, persidangan memang masih belum berlangsung. Beragam pendapat bermunculan, termasuk pandangan bahwa seharusnya tak hanya si pelaku di bawah umur yang dikenakan pidana. Publik harap-harap cemas menanti proses persidangan dan pandangan hukum atas kasus kecelakaan ini.
Di tengah kemirisan kecelakaan fatal dengan kronologi dan korban sedemikian banyak, sebagian kalangan berpendapat restorative justice dapat diterapkan dalam kasus Dul. Konsep restorative justice memang diatur dalam UU 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang telah masuk Lembaran Negara pada 30 Juli 2012.
UU 11 Tahun 2012 ini merupakan revisi atas UU 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Masalahnya, UU hasil revisi dinyatakan baru akan berlaku dua tahun setelah diundangkan, alias baru berlaku per 30 Juli 2014.
Maka, polisi pun meminta pandangan dari para ahli dan pemerhati hukum. “Yang jelas pihak korban dan pelaku sudah dilakukan mediasi dengan baik dan pendapat ahli juga jadi acuan kita tentukan langkah ke depan,” kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Rikwanto.
Satu hal, Rikwanto mengatakan peraturan-perundangan tidak membedakan perlakuan hukum pada orang berada maupun tidak. “Ini satu contoh saja pelakunya putra orang tenar, tapi dalam penyidikan tidak ada beda,” tegas dia.
Siapa salah?
Terlepas daridialektika terkait restorative justice,di depan mata terpapar fakta memprihatinkan. Data dari Sub Direktorat Penegakan Hukum Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya menunjukkan kecelakaan yang melibatkan pelajar alias pelaku di bawah umur ternyata bukan hanya satu dua perkara.
Data itu mencatat, selama periode 2011-2012 di wilayah hukum Polda Metro Jaya terjadi 677 kecelakaan yang melibatkan para pengendara kendaraan bermotor di bawah umur. Jumlah itu merupakan angka tertinggi ketiga dari kecelakaan berdasarkan kategori pelaku. Peringkat pertama kategori pelaku adalah karyawan swasta dengan 4.118 kasus, dan urutan kedua adalah pelaku berprofesi pengemudi dengan 834 pekara.
Peringkat pelaku di bawah umur sebagai penyebab kecelakaan, sampai akhir 2012 tetap menempati urutan ketiga. Sepanjang 2012, tercatat 487 kasus telah terjadi. “Pelajar di bawah umur cukup banyak dalam kompilasi data yang kita buat. Ini menjadi keprihatinan bersama,” kata Rikwanto.
Fakta ini, tegas Rikwanto, butuh upaya bersama dari banyak kalangan dan institusi untuk menekan angka kecelakaan dengan pelaku di bawah umur maupun pelajar. Keterlibatan lembaga pendidikan, orangtua atau keluarga, dan polisi, tak bisa tidak menjadi mutlak.
Polisi sudah berupaya membangun kesadaran berlalu-lintas pada pelajar dengan menyentuh dunia pendidikan sejak dini, dengan program polisi cilik dan upacara. Kesadaran tentang peraturan hukum dan keselamatan berkendara menjadi sasarannya.
Tantangan sekarang, apa yang seharusnya ditegakkan lembaga pendidikan dan orangtua, agar para penerus bangsa tak lagi menjadi raja jalanan yang rentan membahayakan keselamatan jiwa? Adalah fakta yang seolah sudah menjadi kewajaran, melihat deretan sepeda motor bahkan mobil berjajar di pelataran sekolah. Nah.
Editor : Palupi Annisa Auliani
Anak Ahmad Dhani Kecelakaan
- Prudential Enggan Berkomentar soal Asuransi AQJ
- Istri Korban Kecelakaan Dul Khawatir Ahmad Dhani Tak Penuhi Janji
- Biaya Perawatan AQJ Tak Ditanggung Asuransi, Dhani Kecewa
- Kamis Besok, Polisi Periksa Dul di Rumah Ahmad Dhani
- Dokter Belum Izinkan Polisi Periksa Putra Ahmad Dhani
- Anak di Bawah Umur Bakal Tak Bebas Lagi Berkendara
- Ayah Kekasih AQJ: Anak Saya Stres
- BBM di Android dan iPhone
- Piala AFF U-19
- Pro Kontra Mobil Murah
- Tabrakan Senayan
- Teroris Serbu Mal di Kenya
- Krisis Demokrat
Random Articles
YOUR COMMENT